Map and Compass ~ Sebuah Kisah yang Kerap Tertulis di Buku dan Terucap di Lisan Insan-insan


Aku masih ingat kapan pertama kali aku mulai membaca-baca self-help book. Waktu itu diriku masih kelas 3 SMA (semester gasal 2004), saat itu uang sakuku di kisaran seribu hingga dua ribu lima ratus. Dan entah bagaimana aku bisa mendapatkan uang dalam jumlah besar saat itu, hingga akhirnya aku bisa membeli buku-buku baru. Kalau tidak salah 3 buku pertama yang kubeli ialah Kuasai Lebih Cepat (Colin Rose), Otak Sejuta Gigabyte (lupa nama pengarangnya), Menjadi Super-Kreatif dengan Metode Pemetaan Pikiran (Joyce Wycoff). Ketiga buku itu diterbitkan oleh Kaifa, di dalamnya kaya akan ilustrasi, layoutnya menarik namun sederhana, dan yang terpenting ialah gaya penerjemahan bebasnya yang membuat kita mudah memahami isi dan konteksnya.

Kemudian datanglah masa-masa kejayaan internet, di mana setiap mahasiswa memiliki akses lebih ke informasi. Pada masa-masa ini diriku menjadi tidak terlalu terikat pada self-help book. Aku mungkin masih belajar memperbaiki diri dan memahami diri, namun tidak seperti saat menggunakan self-help book. Informasi yang bisa diperoleh dari internet dan self-help book memang berbeda. Dari self-help book kita bisa mempelajari banyak basic theory tentang kehidupan dan biasanya memberikan proven & robust solution. Sedangkan dari internet informasi yang didapat sangat variatif dan bisa sangat spesifik untuk satu individu. Jadi bisa dikatakan bahwa internet menyerupai pisau tajam yang membelah masalah dengan begitu spesifik. Dan harus kuakui internet sangat membantuku dalam memahami diriku dan orang lain, dan yang terpenting mengetahui begitu banyak hal yang luput dari perhatianku (things within my blindspot) selama ini.

Dalam kurun waktu yang sangat lama (5 tahun lebih) aku begitu sering bergantung pada internet, sebuah sumber informasi yang murah. Dan jarang membeli self-help book (atau setidaknya bukan buku-buku yang fenomenal atau best seller). Hingga suatu saat pak Enade menyarankan diriku untuk membaca 7 Habits of The Highly Effective People, di sini lah titik balikku, di mana aku harus mulai belajar basic-basic kehidupan (lagi). Kebetulan aku memiliki 1 atau 2 kerjaan sambilan sehingga aku pun punya cukup uang untuk membeli buku-buku self-help book. Sayangnya buku ini diterjemahkan dengan kurang baik, sehingga relatif cukup sulit dipahami dibanding buku-buku terjemahan lainnya. Tapi itu tidak menyurutkan semangatku untuk mempelajarinya, aku sudah lama mendengar tentang buku ini, tapi tidak pernah kesampaian untuk mempelajarinya. Dengan membaca berulang-ulang akhirnya aku dapat memahami isi buku itu sedikit demi sedikit. Dan diriku pun benar-benar serius dalam berusaha menerapkan isi buku itu, tahap demi tahap. Meskipun sayangnya perkembangannya sendiri cukup lambat, kini mungkin sudah hampir dua tahun, dan perubahan yang ada masih belum terlalu nyata. Seperti yang ditulis dalam buku tersebut, mengubah kebiasaan bukanlah sesuatu yang instan dan diperlukan usaha yang terus-menerus secara konsisten.

Saat di tengah-tengah usaha menerapkan isi buku tersebut diriku mencoba mencari buku-buku self-help yang cukup ngetren saat ini. Hingga kemudiann diriku menemui sebuah buku yang menarik di Periplus, buku itu ialah Focus, karya Daniel Goleman. Buku ini begitu menarik perhatianku karena belum lama sebelum aku mengunjungi Periplus aku memang sudah menonton paling tidak 3 videonya di Youtube, yakni video tentang fokus. Saat itu diriku begitu bimbang untuk membelinya, hingga akhirnya diriku tidak jadi membeli buku itu (Karena buku itu buku impor harganya di atas 100 rb). Kemudian aku mencari ebooknya untuk memastikan buku itu benar-benar cocok untukku. Harus kuakui bahasanya ternyata cukup jelimet dan banyak istilah-istilah teknis di dunia kedokteran yang tidak kumengerti. Kemudian aku mengecek review dari orang-orang yang pernah membacanya, dan mereka mengungkapkan hal yang serupa. Mereka umumnya menyesalkan isinya yang lebih banyak berupa teori, dan bagian penerapannya ada di bagian separuh terakhir buku itu. Kemudian aku pun melompat-lompat dalam membaca buku tersebut dan aku pun setuju dengan review-review tersebut, meski tidak sepenuhnya sepakat. Karena memahami teorinya membantuku untuk lebih memahami bagaimana pikiran dan jiwa ini bekerja. Di sisi lain mendapatkan filosofi akan cara kerja otak/pikiran memberikan ‘sense’ saat menerapkan isi buku tersebut. After all, this is Daniel Goleman, the very same man who introduce the term Emotional Intelligence, aku rasa ada alasan baik kenapa beliau panjang lebar tentang teorinya sebelum beranjak ke bagian prakteknya.

Kemudian aku akhirnya memutuskan untuk membeli buku itu, dan menganggap bahwa pengeluarannya sepadan dengan investasi ke depannya nanti. Mungkin salah satu kontribusi terbesar buku ini selain meningkatkan fokus dan manajemen waktuku, ialah bagaimana buku ini menunjukkan diriku bagaimana diriku bergerak maju, apa saja yang menghambat kerjaku dan apa saja yang mendorongku untuk terus bergerak. Sehingga dapat dikatakan bahwa buku ini berperan penting dalam proses penulisan tesisku yang saat itu sedang tersendat-sendat.

Tidak lama setelah mendapatkan buku Focus, diriku tertarik dengan buku lain yang kutemukan saat berjalan-jalan ke Gramedia bersama pacarku, yakni The One Thing oleh Gary Keller dan Jay Papasan. Secara garis besar buku One Thing memiliki persamaan dengan Focus, yakni tentang mengerjakan satu hal di satu waktu. Namun bedanya Focus lebih menekankan kondisi mental dan cara kerja pikiran, sedangkan One Thing lebih pada eksekusi dalam melakukannya, dan juga dalam pemilihan Satu Hal yang memberikan dampak paling besar (leverage / biggest impact). Bahkan kalau mau melakukan perbandingan yang lebih ekstrim lagi, 7 Habit (habit kedua dan ketiga), Focus, dan One Thing pada dasarnya menceritakan satu hal yang sama.

Adalah sangat menarik menemukan kisah yang sama diceritakan berulang-ulang dalam buku-buku yang berbeda dengan cara yang berbeda pula. Bahkan sebenarnya orang-orang di sekitarku kerap mengatakannya, meski dengan cara yang lebih berbeda lagi. Well sometimes I just didn’t notice, I admit that one. Dan kau pun bertanya padaku, apakah kisah itu? Kemudian aku menjawab “Peta dan Kompas”. Dalam menjalani kehidupan kedua benda ini sangatlah vital, tidak memiliki salah satunya akan membuatmu gagal dalam menjadi manusia sukses, tidak memiliki keduanya akan membuatmu seperti orang tidak berguna dan menyusahkan orang lain. Dan menariknya, berdasarkan pengamatanku beberapa orang lebih berpegang pada peta, sedangkan orang lain lebih berpegang pada kompas. Idealnya kita seharusnya memiliki kedua benda tersebut dan selalu menggunakannya, dan selalu memastikan kita masih menggenggam kedua benda tersebut. Aku? Aku sendiri lebih cenderung berpegang pada peta, namun jarang menggenggam kompas. Which is kinda idiotic, selalu tahu apa yang kuinginkan, tapi tidak pernah tau apa langkah selanjutnya yang seharusnya dikerjakan. Even the smallest step, tidak heran kenapa aku selalu lambat dalam memulai sesuatu. Dan harus kuakui ini adalah kelemahan yang luar biasa, dan harus diperbaiki sedikit demi sedikit.

Mungkin sudah menjadi bagian yang alami dari diriku bahwa diriku dapat melihat gambaran besar dari segala sesuatu hingga kurang memperhatikan detil-detil. Dan oleh karenanya itu lah yang sering kulakukan saat ini. Apa yang harus kulakukan saat ini, bagaimana langkah-langkahnya. Saat diriku mulai tidak terkontrol, ternyata langkah terbaik ialah berhenti sejenak dan membersihkan pikiran, letting things go. Dan setelah mulai jernih kembali memikirkan strategi.

When the same story is keep repeating over and over again, it is only natural that you consider this as a warning from the God, don’t you think?

Muhammad Radifar
March 28, 2015

Leave a comment